Selasa, 03 November 2015

Persembunyian Terakhir

HIGHLIGHT HEADLINE

Persembunyian Terakhir

28 Oktober 2015 11:55:30 Diperbarui: 28 Oktober 2015 18:40:32 Dibaca : 627 Komentar : 100 Nilai : 45
Persembunyian Terakhir
Aroma parfumnya sempat membuatku berkunang-kunang. Untuk ukuran penciumanku, wewangian yang melekat di tubuhnya terasa menyengat. Aku mencoba menghindari bau itu agar tidak menusuk hidung terlalu dalam. Bisa-bisa aku limbung dan terkulai. Aku tahan nafas, sesekali menghirup sedikit udara di ruang itu.
Perempuan muda, penghuni kamar itu, melukar pakaian, berganti daster merah jambu.  Dugaanku itu warna favoritnya.  Terlihat, beberapa pernak-pernik dan perkakas yang didominasi warna itu.
Aku sempat tertegun, karena baru kali ini memergoki kejadian ini. Secepat gerakan, aku alihkan pandangan mataku ke arah tembok yang tadi aku belakangi.  Aku menyesal dalam situasi ini. Telah lancang memasuki kamar tanpa permisi, dan melihat privasinya.
Naluri perempuan itu terjaga. Ia memandang sekeliling ruangan. Diamatinya sudut demi sudut. Ditatap olehnya bagian per bagian benda yang ada. “Tampaknya dia mencurigai, ada yang tidak biasa masuk kamarnya” pikirku.
Aku sendiri mulai cemas. Ada kekuatiran jika sampai dia tahu aku ada di ruangan itu.
Sambil mengenakan daster dan merapikan pada sekujur badannya ia memutar badan di depan cermin dan berbalik lagi. Matanya tetap ke sana-kemari. Itu semakin membuatku yakin, ia mencurigai ada yang lain di kamarnya.
Kemarin, aku berhasil keluar dari upayanya mematikanku. Saat itu, ia tengah berada di dapur. Dan tanpa sepengetahuanku ia memukul lemari tempat aku sembunyi. Telingaku terasa penging. Kepalaku pening. Rasanya ingin muntah-muntah dibuatnya.
Ia memukul-mukul terus dengan telapak tangannya. Aku tidak tahu apa yang disuarakan. Kedengaran ditelinga ia bicara cepat. Tapi ia riang seperti bernyanyi. Apa ini yang dinamakan “ngerep”?
Aku tak tahan dengan kebisingan yang dibuatnya. Saat itu aku benar-benar butuh istirahat. Dengan cepat aku berupaya keluar dari persembunyian. Malang tak dapat ditolak. Bertepatan dengan itu, pandangan mata perempuan itu tepat ke arah pelarianku. Seketika, dia mendiamkan mulutnya dan mencari sesuatu.
“Oh, sebuah sapu lantai ia genggam ujungnya!” aku menengok ke belakang. Kepadanya.
Aku berhasil cepat menjaga jarak, menghindarinya. Sesaat kemudian, ia baru bisa melangkah. Sayang, ada ceceran minyak sayur di lantai dapur memelesetkannya.
Aku beruntung. Tapi tidak bagi dia.
“Kedabrug!” Ia terpelanting dan kepalanya membentur pintu kulkas.
Wajahnya memerah. Giginya gemeretak. Matanya melotot ke arah kepergianku. Telapak tangan kanannya mengusap jidat yang baru saja berbenturan dengan pintu kulkas. Kemudian ia berdiri dan berkacak pingang, sambil bibirnya mengeluarkan udara bercampur suara. "Huh!" Cara dia membuang kekesalan.
Dengan nafas yang tersengal-sengal, aku sembunyi dan tak sekali pun menampakkan diri. Aku seperti mati suri. Menahan semua kebutuhan asupan untuk menopang tenagaku.
Malam harinya, saat semua lampu ruang: dari depan, tengah hingga belakang dimatikan, aku bergerak tak jelas arah. Sampai akhirnya nyasar dan menyelinap di kamar perempuan itu. Aku lihat ia tengah tidur dalam remang cahaya lampu di atas nakas kayu mahoni berpolitur kecoklatan. Aku terperangah, perempuan cantik itu tidur mendengkur. Tapi ini kesempatan bagiku, mumpung ia tengah nyenyak, untuk mencari apa yang bisa aku cari untuk mengisi perut.
***
Perempuan itu semakin menampakkan kecurigaan yang sangat. Aku lihat, instingnya kuat. Arah pandangan matanya sudah benar-benar fokus ke arahku.
“Hmm” Ia bersuara.  Dan ia mulai ancang-ancang, mencari inisiatif seperlunya.
Ingatannya pada kejadian di dapur siang kemarin, telah menggumpalkan segenap emosinya untuk secepatnya melibasku.
Aku sungguh-sungguh takut. Hidupku tinggal dalam hitungan detik. Andai dia sigap dan mendapatkan keberuntungan, maka selesailah riwayatku.
Maka, aku nekad senekad-nekadnya keluar dari kamar. Menjauh dari kemungkinan buruk yang bakal di lakukan perempuan itu. Aku lihat sebuah celah. Pintu kamar tidak penuh tertutup. Ada sekitar dua senti yang bisa aku terobos.  Aku tarik nafas dalam-dalam.  Aku merasakan kelegaan.  Masih ada peluang, pikirku.
“Ini harus dimanfaatkan!”
Aku, tanpa menunda waktu mengambil keputusan. Berlari melewati celah pintu itu. Tapi tiba tiba di luar kamar. Dari arah berlawanan, seorang anak berteriak. “Mama. Mama Bi”
Anak enam tahun itu memanggil mamanya dengan sedikit berlari ke arah pintu yang baru saja aku jadikan jalur pelarian. Sedikit pun aku tak bisa menghindari berpapasan dengannya. Benar-benar membuatku terkejut  saat melihatnya.
“Hek”
Aku terhenti.  Bernafas menjadi teramat sulit. Dadaku sesak. Sedikit pun tak ada yang bisa digerakkan. Aku tiba-tiba sudah berada di bawah sandal sebelah kiri anak itu.
“Oh, sakitnya bukan main”
Badanku menjadi pipih. Semua isi dalam perutku terjurai putih dengan bau yang menyengat. Aku mati, tak lama setelah itu.
“Sayang. Kamu lihat kecoa keluar kamar?” Bertanya perempuan itu sambil memegang gagang slot pintu.  Pintu pun kini sudah terbuka penuh.
Anak lelaki itu menggelengkan kepala. Tapi hidung perempuan itu menangkap aroma tubuhku yang sudah koyak. Dan, setelah anak itu bergerak mendekat. Ia baru tahu. Aku, si kecoa yang tadi dikamarnya sudah mati.
“Awas, lihat itu di dekatmu!”  Seketika, anak itu mengarahkan bola matanya, melihat yang ditunjuk oleh tangan perempuan itu.
“Mama, ada kecoa mati. Aku yang buang ya?”
“Jangan sayang. Itu menjijikan. Nggak boleh. Biar mama saja”
“Nggak apa-apa. Aku biasa mainin kecoa”
Nampaknya, perempuan itu beruntung, anaknya berkenan membuang bangkai tubuhku. Dia izinkan. "Buang ke tempat sampah ya!"  Dia mengangkat tubuhku dengan menarik sungutku dengan ujung ibu jari dan telunjuk yang digapitkan.
Anak itu tidak menuju tempat sampah.  Ia bawa ke bagian depan rumah dan mendekati sebuah kolam kecil yang menyisakan seekor ikan lele dumbo ukuran hampir satu lengan anak-anak.  Dan anak itu, menggoyang-goyangkan jasadku dan kemudian melemparkan ke air kolam.
“Hup” Dalam sekali gerakan membuka mulutnya, lele dumbo itu berhasil menelan tubuhku. Tak ada yang tersisa yang bisa terlihat di air kolam. Ikan itu berkelebat mengibaskan ekornya. Ia gembira dan kemungkinan menunggu umpan berikutnya. Siapa tahu ada.
Tiga hari kemudian, ikan lele dumbo itu tak lagi di dalam kolam. Ia sudah berada di sebuah piring di atas meja makan. Berdampingan di sana, sambal dan irisan kol serta mentimun. Perempuan itu telah memasaknya menjadi hidangan siang itu.  Sebuah menu kegemaran yang selalu diupayakan hadir di tiap minggunya.
Dan bersama sang anak, mereka sepiring berdua menikmati pecel lele dengan lahap.  Kini, yang tersisa di piring hanyalah tulang dan kepala lele dumbo.  Perempuan itu sama sekali tidak tahu, bahwa di dalam tubuh ikan lele dombo yang disantapnya, terdapat sari dari tubuhku. Tubuh seekor kecoa yang dibencinya.  Yang menjijikan itu.


____Oenthoek Cacing-Bumi Cahyana, 27 Oktober 2015

*) Terimakasih untuk sahabat manisku: Biyanca Kenlim, atas inspirasinya.


Ilustrasi: anneahira.com

Cerpen ini pertama kali diposting di Kompasiana

Sabtu, 22 November 2014

BPJS: UNTUK MENUMBUHKAN HARAPAN KAMI



AWAL mulanya seperti terasa enggan untuk menjadi peserta program BPJS Kesehatan.  Tetapi akhirnya keluarga kami "memaksakan" diri untuk ikut dalam kepesertaan program ini, yang telah dicanangkan oleh pemerintah mulai 1 Januari 2014.  Pemikiran saya sederhana saja, jika tidak mencoba maka  tidak mendapat pengetahuan dan pengalaman.  Setidaknya, dengan demikian bisa untuk berbagi informasi dengan mereka yang sudah menjadi peserta maupun yang belum.

PER 10 November 2014 akhirnya kami sudah tercatat sebagai perserta BPJS.   Itu ditandai dengan diterimanya kartu peserta, yang saya peroleh pada hari pendaftaran.   Cukup hanya menunggu beberapa waktu saja.  Hari itu semua urusan terselesaikan.

HAL yang mengagetkan adalah adanya syarat baru.  Mulai 1 November 2014, pemberkasan persyaratan bagi peserta baru harus memiliki rekening di bank.  Rekening ini wajib, yang berlaku hanya satu nomor rekening untuk satu keluarga.  Kegunaannya adalah untuk menarik  iuran peserta langsung dari rekening oleh bank yang bersangkutan.  Istilahnya outodebt . Sehingga peserta cukup menyetor uang di bank pemberi rekening.  Bagi kelompok masyarakat tertentu, berurusan dengan bank bukan hal yang mudah.   Tidak saja karena faktor sosial ekonomi, tetapi akses terhadap pelayanan lembaga perbankan yang belum merata.

SEPULUH hari kemudian, kami manfaatkan program ini.   Bapak saya yang memulai, karena ada gangguan pada jantungnya.  Untuk itu, kami berkunjung ke fasilitas tingkat pertama yaitu puskesmas di tempat kami.   Mendaftar dan kemudian menunggu panggilan pemeriksaan dokter umum.  Hasil diagnosis dokter adalah  Suspc. Decomp. Cordis.  Entah apa artinya.  Kami dirujuk untuk berobat ke fasilitas tingkat lanjutan, yaitu RS Goetheng Purbalingga.   Sayang, di rumah sakit ini belum memiliki Poli Jantung. Kami diarahkan untuk berobat ke Poli Penyakit Dalam.

BAGAIMANA kelanjutannya ?  Nanti akan saya ceritakan pada tulisan berikutnya....(*)


Senin, 14 Oktober 2013

ANAK TERLAHIR DARI KEHIDUPANNYA

Jika anak dibesarkan dengan celaan,
     ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,
     ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
     ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,
     ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
     ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
     ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian
     ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan,
     ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
     ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan,
     ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
     ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

*) Terjemahan bebas Puisi Dorothy Lawa Nolte: Children Learn with Their Live, diambil dari buku Psikologi Komunikasi, Jalaludin Rahmat.